Jumat, 11 Desember 2009

AKU BERSYUKUR TERLAHIR SEBAGAI ANAK MISKIN

Gadis kecil itu berasal dari keluarga buruh pabrik dengan empat anak yang harus ditanggung di dalamnya. Dia sempat tumbuh sebagai gadis yang pemalu, tidak percaya diri dan membenci hidupnya. Gadis itu adalah aku.

Aku pernah menjadi bagian dari penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Bertahan hidup dengan makanan dan pakaian seadanya, tinggal di rumah kontrakan yang sama sekali tak bisa disebut sebagai rumah layak huni. Sepetak kamar yang berukuran tak lebih luas dari rumah tipe 21 dengan penyekat dinding kayu dan berlantai tanah. Rumah bagi kami adalah mimpi. Pakaian bagus dan makanan yang enak dan bergizi bagi kami cuma angan-angan saja. Kehidupan kami benar-benar sama persis dengan gambaran orang jawa “urip mung mampir ngombe” mirip perantau saja, tak ada harta, tak ada yang istimewa,. Satu hal yang kami syukuri, ALLAH selalu memberikan jalan bagi keluarga kami untuk mendapatkan rejeki agar kami bisa tetap bersekolah.

Aku bukan anak pintar, tapi bukan juga disebut anak bodoh. Aku hanya bersyukur ALLAH selalu memberikan jalan padaku untuk meraih apa yang aku inginkan. Dan aku bersyukur pula karna apa yang aku peroleh menjadi kebanggaan buat keluarga. Karna itulah, ibuku berusaha sekuat tenaga supaya aku dan saudara-saudaraku tidak putus sekolah. Pekerjaan apapun dijalaninya demi kami.

Pernah aku mengantar ibu berjualan pakaian dari rumah ke rumah. Rasa sedih dan malu yang amat sangat aku rasakan saat itu. Sedih karna ibu harus bekerja seperti ini demi kami, malu karna betapa miskinnya kami sampai harus berjualan keliling begini. Perasaan itu semakin bertambah lagi bila dagangan kami tidak laku. Sabar…….

Kehidupan kami mulai berubah setelah kami “terusir” dari rumah kontrakan kami yang terakhir (
jangan pernah membayangkan adegan pengusiran yang digambarkan di sinetron2, tak se-ekstrim itu). Rasa marah dan malu yang aku rasakan saat itu. Yang aku inginkan hanya berteriak kepada pemberi hidup ini.

“Ya ALLAH, kenapa KAU lahirkan aku sebagai anak miskin? Sampai kapan kami harus menjalani hidup sebagai manusia terhina seperti ini? Kemana kami harus pergi ya ALLAH?”

Ibu memutuskan untuk menjual tanah pemberian embah di desa asal ibu. Satu-satunya pemberian embah yang sebenarnya amat sayang untuk ibu lepas. But,
we had no choice. Dan lepaslah pemberian embah, berganti dengan sebidang rumah yang akan kami tinggali. Mungkin inilah hikmah “terusir”-nya kami dari rumah kontrakan. Pada akhirnya kami bisa membangun rumah kami di atas tanah milik kami sendiri. Rumah sederhana dan tak mampu kami selesaikan dengan sempurna, tapi aku bahagia bisa dengan bangga berkata “Inilah rumahku…..!!!” Satu mimpi telah terwujud.

Di penghujung tahun 2008, satu lagi kebahagiaan menghampiri hidupku. ALLAH memberikan aku kesempatan untuk bekerja sebagai abdi negara. Mungkin bukan pekerjaan yang istimewa bagi sebagian orang, tapi aku tetap bersyukur bias masuk ke dalamnya. Dan perlahan-lahan hidup kami beranjak lebih baik. Semoga ini adalah petunjuk bahwa rejeki yang aku peroleh adalah berkah bagi keluargaku.

Dan sekarang, saat aku menengok kembali ke belakang, ternyata hidup ini indah. Inikah tujuan KAU pilihkan aku orang tua seperti mereka? agar aku bisa merasakan betapa sulitnya perjuangan hidup, dan betapa manisnya hasil yang akan aku peroleh? Agar aku bisa bersyukur terlahir ke dunia dengan kondisi apapun yang KAU berikan padaku. Aku berdoa semoga ENGKAU selalu melimpahkan karuniaMU kepada keluarga kami, selalu menjaga orang tua kami dan membukakan hati mereka untuk dapat hidup sesuai dengan perintahMU. Dan ijinkan aku untuk membalas semua pengorbanan orang tuaku ya ALLAH, amin ya robbal alamin…..