Menurut Adler, anak kedua selalu berusaha memacu dirinya untuk bisa menyamai. Ia tampak seperti seseorang yang berada dalam sebuah pacuan, dan jika ada yang di depannya ia akan berusaha mengalahkannya. Sangat menyukai kompetisi atau perlombaan. Selalu merasa tidak nyaman dengan perasaan bahwa dirinya dilindungi, dan mencari hal lain untuk membuktikan bahwa pelindungnya gagal dengan menunjukkan bahwa yang bisa melindungi adalah dirinya sendiri.Teori itu mungkin benar, mungkin juga tidak. Yang aku rasakan selama menjadi anak kedua, aku memang tak pernah menjadi priotitas pertama di keluarga. Selalu mendapat baju bekas dari kakak, tak pernah dibela bila bertengkar dengan adik, dan selalu harus mengalah dari adik. Pernah suatu hari ibu membeli payung lipat. Ibu bilang, payung itu untuk kakak, aku cukup pakai payung lama milik kakak. Dalam hati sempat protes mendengarnya, Tapi aku tau, ibu tak punya cukup uang untuk membeli 2 payung baru untuk kakak dan untukku. Dan mungkin ibu tak pernah tau kalau perkataannya telah menyakiti putri kecilnya ini :(. Satu kerugian terlahir sebagai anak kedua.
Dalam keluarga anak-anak berjuang keras untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang serta berbagai sumberdaya lainnya dari orangtua. Menurut Adler, anak kedua berbeda dalam posisi yang sangat berbeda jika dibandingkan dengan anak pertama. Sejak lahir ia sudah harus berbagi perhatian dari orang tua dengan kakaknya. Ia selalu melihat bahwa di depan ia ada anak lain yang lebih dari dirinya (baik dalam hal usia maupun proses perkembangan).
Di antara kami berempat, mungkin boleh dibilang aku yang punya kondisi fisik yang “berbeda” dengan lainnya. Aku adalah gadis pendek. Entah itu karena faktor gen atau faktor gizi. Tapi bila dipikir-pikir, aku punya adik saat aku berumur 2 tahun. Which means…aku hanya mendapat perhatian penuh dari ibu tak lebih dari 2 tahun, dan mungkin mendapat ASI hanya 1 tahun. Sedangkan kondisi ekonomi keluarga kami boleh dibilang dibawah standar sehingga dipastikan tak mampu membeli susu formula untuk kebutuhan giziku. Jadi…..bisa dibilang aku memang kurang gizi. Satu kerugian besar lain jadi anak kedua.
Berbagai tindak “ketidakadilan” yang kurasakan di masa kecilku mungkin berpengaruh besar pada pembentukan watakku. Aku jadi anak yang keras, pencemburu dan merasa selalu tersingkir. Watak yang bener-bener nggak banget deh. Mungkin sebagian besar anak kedua di luar sana juga merasakan hal yang sama. Mungkin juga tulisan ini adalah hasil dari pembentukan watak seorang anak kedua. Yeah…… manusia memang tak pernah bisa memilih kapan dia lahir dan dari rahim siapa dia dilahirkan. Tapi apapun itu, aku tetap bersyukur terlahir sebagai anak kedua dengan segala keunikannya. Dan aku berjanji, suatu saat bila aku punya anak nanti, aku akan berusaha untuk tidak membuat anak kedua menjadi “nomor dua”. Semoga…….